Dokumentasi Dan Revitalisasi Bahasa Kawasan Terancam Punah Di Indonesia

Dokumentasi Bahasa Daerah Terancam Punah dan Revitalisasi Bahasa Daerah di Indonesia Dokumentasi dan Revitalisasi Bahasa Daerah Terancam Punah di Indonesia
Image by: Kemendikbud

Pendokumentasian Bahasa dalam Upaya Revitalisasi Bahasa Daerah yang Terancam Punah di Indonesia



Ethnologue: Languages of the World, berdasarkan https://id.wikipedia.org/wiki/Ethnologue yakni suatu terbitan web dan dicetak oleh SIL InternationDokumentasi Bahal (sebelumnya The Summer Institute of Linguistics), suatu forum jasa linguistik Katolik yang meneliti bahasa yang kurang dikenal, dengan tujuan utama menerbitkan terjemahan Injil dalam bahasa tersebut.

Dalam terbitannya yang ke-16 yang keluar tahun 2009, Ethnologue mengandung statistik untuk 7.358 bahasa, angka yang naik dari 6.912 dalam terbitan ke-15, yang dikeluarkan tahun 2005, dan 6.809 dalam terbitan ke-14, yang dikeluarkan tahun 2000. Ethnologue memberi jumlah penutur, wilayah penuturan, dialek, kaitan linguistik, tersedianya Injil dalam bahasa terkait dan sebagainya. Saat ini Ethnologue yakni inventaris bahasa yang paling lengkap, bersama dengan Linguasphere Observatory Register. Namun, sebagian informasi di dalamnya sudah ketinggalan zaman.

Klasifikasi sebagai "bahasa" atau "dialek"tergantung pada pertimbangan sosio-linguistik. Dalam kata pendahuluan Ethnologue ditulis bahwa "tidak semua peneliti mempunyai kriteria yang sama untuk apa yang merupakan 'bahasa' dan ciri mana memilih suatu 'dialek.'"

Tahun 1984 Ethnologue mengumumkan suatu sistem aba-aba dengan 3 huruf yang dijuluki SIL code untuk mengidentifikasi setiap bahasa yang diuraikannya. Kumpulan aba-aba ini melebihi secara berarti jangkauan standard sebelumnya yaitu ISO 639-1. Terbitan ke-14, yang dikeluarkan tahun 2000, meliputi 7.148 aba-aba bahasa yang pada umumnya tidak cocok dengan aba-aba ISO 639-2. Tahun 2002 Ethnologue diminta berhubungan dengan International Organization for Standardization (ISO) untuk memadukan kodenya ke dalam suatu rancangan standard internasional. Kini Ethnologue memakai standard tersebut, yang dinamakan ISO 639-3. Terbitan ke-15, yang dikeluarkan tahun 2005, mengandung 7.299 kode. Terbitan ke-16 dirilis pada tahun 2009.

Ethnologue (2015) mencatat sebanyak 7.102 bahasa dituturkan di seluruh dunia. Sementara itu, di Indonesia tercatat 707 bahasa yang dituturkan sekitar 221 juta penduduk. Itu berarti bahwa kurang lebih sepuluh persen dari jumlah bahasa di dunia ada di Indonesia. Di sisi lain, hal itu menjadi suatu pujian lantaran itu menyampaikan kekayaan bahasa sekaligus keberagaman budaya yang kita miliki. Akan tetapi, di sisi lain hal itu menjadi tantangan, atau bahkan beban bagi kita untuk menjaga keberadaan bahasa-bahasa itu.

Para jago bahasa memperkirakan bahwa separo dari bahasa-bahasa di dunia ini bakal punah. Di Indonesia sendiri, berdasarkan Moseley (2010) dalam buku Atlas of the World’s Languages in Danger, terdapat 146 bahasa kawasan yang terancam punah dan 12 bahasa yang telah punah. Bahasa-bahasa daerah itu kebanyakan berada di kepingan timur Indonesia. Bahasa-bahasa yang teridentifikasi telah punah adalah Hukumina, Kayeli, Liliali, Moksela, Naka’ela, Nila, Palumata, Piru, dan Te’un di Maluku, Mapia dan Tandia di Papua, serta Tobada’ di Sulawesi.

Kepunahan bahasa sanggup disebabkan oleh banyak sekali hal. Austin dan Sallabank (2011: 5—6) membaginya ke dalam empat kategori/ faktor utama, yakni:
  • Bencana alam (gempa bumi, tsunami, dsb), kelaparan, dan penyakit.
  • Perang dan genosida.
  • Represi terbuka, biasanya mengatasnamakan “persatuan nasional” atau asimilasi.
  • Dominasi ekonomi, politik, atau budaya.
Ke- 4 kategori tersebut bisa dikelompokkan lagi ke dalam lima faktor yang paling umum, antara lain:
  • Faktor ekonomi, misalnya, kemiskinan di pedesaan yang menimbulkan terjadinya urbanisasi.
  • Faktor dominasi budaya oleh masyarakat mayoritas, misalnya, pendidikan dan kepustakaan yang hanya menggunakan bahasa mayoritas atau bahasa negara; akibatnya, bahasa kawasan menjadi terpinggirkan.
  • Faktor politik, misalnya, kebijakan pendidikan yang mengabaikan atau mengecualikan bahasa daerah, kurangnya ratifikasi atau representasi politik, atau larangan penggunaan bahasa minoritas dalam kehidupan masyarakat.
  • Faktor sejarah, misalnya, penjajahan, sengketa batas wilayah, atau naiknya satu kelompok berikut ragam bahasanya menjadi dominansi politik dan budaya.
  • Faktor sikap, misalnya, bahasa minoritas diasosiasikan dengan kemiskinan serta buta huruf dan penderitaan, sementara bahasa mayoritas dikaitkan dengan kemajuan.
Lewis et al., (2015) mengatakan/ mempunyai pendapat bahwa ada 2 dimensi dalam pencirian keterancaman bahasa, yaitu jumlah penutur yang menggunakan bahasanya serta jumlah dan sifat penggunaan atau fungsi penggunaan bahasa. Suatu bahasa dikatakan terancam apabila semakin sedikit masyarakat yang mengakui bahasanya dan, oleh lantaran itu, bahasa itu tidak pernah digunakan ataupun diajarkan kepada bawah umur mereka. Selain itu, suatu bahasa dikategorikan terancam punah kalau bahasa itu semakin sedikit digunakan dalam acara sehari-hari sehingga kehilangan fungsi sosial atau komunikatifnya. Semakin kecil ranah penggunaan bahasa dalam masyarakat cenderung akan memengaruhi persepsi pengguna bahasa akan kesesuaian penggunaan bahasa dalam fungsi yang lebih luas.

Keberagaman bahasa yakni pilar keberagaman budaya. Oleh lantaran itu, kepunahan yang terjadi pada suatu bahasa berarti juga hilangnya kekayaan budaya. Tradisi, memori, serta cara berpikir dan berekspresi, yang merupakan warisan yang tak ternilai untuk mencapai masa depan yang lebih baik, pun akan hilang. Sejumlah jago linguistik ekologi, dengan menggunakan analisis wacana kritis, mendapati bahwa antara budaya, bahasa, dan keanekaragaman hayati mempunyai korelasi. Analisis itu menyingkap bahwa praktik kebahasaan menunjukkan perilaku eksploitatif terhadap lingkungan alam. Oleh lantaran itu, mereka mengklaim bahwa punahnya lingkungan alam sebagian disebabkan oleh bahasa. Namun, yang lebih menyedihkan yakni ketika penutur suatu bahasa kehilangan bahasanya. Bahasa sering dianggap sebagai simbol identitas kesukuan atau identitas kebangsaan. Jadi, ketika seseorang kehilangan bahasanya, itu berarti ia telah kehilangan identitas etnis atau identitas kebangsaannya. Karena itulah, untuk mengatasi bahasa-bahasa kawasan yang terancam punah itu, diharapkan revitalisasi bahasa. Salah satu bentuk revitalisasi bahasa yang sanggup dilakukan yakni dengan pendokumentasian bahasa.

Revitalisasi Bahasa Daerah yang Terancam Punah

Menurut Hinton (2011: 291—293), revitalisasi bahasa yakni upaya untuk mengembalikan bahasa yang terancam punah pada tingkat penggunaan yang lebih baik dalam masyarakat sehabis mengalami penurunan penggunaan. Kemudian Hinton menegaskan kiprah utama revitalisasi bahasa meliputi:

1. Mengajarkan bahasa kepada mereka yang tidak mengetahui bahasa itu dan
2. Membuat orang yang mempelajari bahasa dan orang yang sudah mengetahui bahasa itu menggunakannya  dalam situasi yang lebih luas. Tujuan transmisi antargenerasi dikatakan berhasil kalau kiprah yang kedua sanggup dicapai.
 
Hinton memaparkan 6 tindakan konkret yang bisa dilakukan untuk mengembalikan penggunaan bahasa yang hampir punah, yaitu
  • Belajar beberapa kata, ibarat salam dan perkenalan atau percakapan pendek
  • Mengumpulkan publikasi linguistik, catatan lapangan dan rekaman bunyi sebagai kepingan dari penciptaan sumber daya berbasis masyarakat dan arsip
  • Mengembangkan sistem tulis dan pembuatan kamus berbasis masyarakat dan tata bahasa pedagogis
  • Membuat rekaman audio atau video dari penutur yang tersisa dengan tujuan mendokumentasikan dan mengarsipkan pola penggunaan bahasa mereka dengan menciptakan korpus materi banyak sekali jenis
  • Mengikuti kelas bahasa atau kemah bahasa
  • Menjalankan sekolah imersi penuh (sekolah yang bahasa pengantarnya yakni bahasa yang terancam punah itu sendiri)
Guna memastikan apakah diharapkan revitalisasi bahasa, penting dilakukan penilaian vitalitas atau daya hidup bahasa. Daya hidup bahasa sanggup diukur dari beberapa indikator. Unesco (2003) menggunakan sembilan faktor untuk menentukannya, yaitu:
  1. Transmisi bahasa antargenerasi
  2. Jumlah penutur absolut
  3. Proporsi penutur dengan jumlah penduduk keseluruhan
  4. Kecenderungan dalam ranah penggunaan bahasa
  5. Daya tanggap terhadap ranah gres dan media
  6. Materi untuk pendidikan bahasa dan keberaksaraan
  7. Kebijakan bahasa oleh pemerintah dan institusi, termasuk status resmi dan penggunaanya
  8. Sikap masyarakat penutur terhadap bahasa mereka
  9. Jumlah dan kualitas dokumentasi bahasa
Bisa dipersempit dengan klarifikasi bahwa faktor (1-6) digunakan untuk mengevaluasi daya hidup bahasa dan keadaan keterancaman,. Faktor (7-8) diguanakan untuk menilai perilaku bahasa. Sedangkan faktor (9) digunakan untuk menilai pentingnya pendokumentasian.

Berdasarkan penilaian daya hidup bahasa, Unesco (2003) menggolongkan 6 tingkat keadaan bahasa.
  • Aman: bahasa dituturkan oleh semua generasi dan transmisi antargenerasi tidak terputus.
  • Rentan: bahasa dituturkan oleh anak-anak, tetapi hanya pada ranah tertentu.
  • Terancam: bawah umur tidak lagi menggunakan bahasanya di rumah sebagai bahasa ibu.
  • Sangat terancam: bahasa hanya digunakan antargenerasi tua, tetapi tidak kepada anak-anak.
  • Hampir punah: hanya generasi bau tanah yang sanggup menuturkan, tetapi jarang digunakan.
  • Punah: tidak ada penuturnya.
Sementara itu, berdasarkan penilaian pentingnya pendokumentasian, Unesco mengkategorikan ada 6 tingkat keadaan dokumentasi bahasa:
  • Unggul: ada tata bahasa yang komprehensif dan kamus, teks yang luas; anutan materi bahasa konstan; banyak terdapat rekaman audio dan video berkualitas tinggi yang beranotasi.
  • Baik: ada satu tata bahasa yang baik dan sejumlah tata bahasa yang memadai, kamus, teks, sastra; rekaman audio dan video berkualitas tinggi yang beranotasi jumlahnya memadai.
  • Cukup: mungkin ada tata bahasa yang memadai atau jumlahnya cukup, kamus, dan teks, tetapi tidak ada media sehari-hari; rekaman audio dan video mungkin ada dalam kualitas atau anotasi yang beragam.
  • Taklengkap: ada beberapa denah tata bahasa, senarai kata, teks yang bermanfaat untuk penelitian bahasa, tetapi cakupannya kurang; rekaman audio dan video mungkin ada dengan kualitas yang bervariasi, dengan atau tanpa anotasi.
  • Kurang: hanya sedikit denah tata bahasa, sedikit senarai kata, dan teks yang taklengkap; rekaman audio dan video tidak ada, tidak sanggup dipakai, atau tidak beranotasi.
  • Tanpa dokumentasi: tidak ada bahan.
Dengan diketahui keadaan dokumentasi suatu bahasa, tahap selanjutnya sanggup dirancang kiprah khusus dan memungkinkan untuk mendesain proyek penelitian gotong royong dengan anggota masyarakat tutur suatu bahasa.

Pendokumentasian Bahasa

Pendokumentasian bahasa belakangan ini gencar dilakukan oleh para peneliti bahasa. Hal itu dilakukan mengingat banyak bahasa yang masih dituturkan pada dikala ini terancam kepunahan. Jika satu bahasa punah, tentu mustahil dilakukan pengecekan data terhadap penutur jati dan tidak mngkin pula dilakukan pengumpulan sejumlah data tambahan. Dalam hal ini, dokumentasi bahasa tidak hanya dianggap sebagai repositori data untuk penelitian ilmiah, tetapi dokumentasi bahasa juga berperan penting dalam pemertahanan bahasa.

Himmelmann (2006: 1—5) beropini bahwa dokumentasi bahasa yakni rekaman bahasa yang bersifat multiguna dan kekal. Multiguna dalam konteks itu berarti bahwa dokumentasi bahasa meliputi rekaman sebanyak mungkin dan bermacam-macam yang meliputi semua aspek bahasa. Dengan kata lain, dokumentasi bahasa idealnya berisi semua register dan ragam, bukti bahasa sebagai praktik sosial dan kecakapan kognitif, serta meliputi pola penggunaan bahasa ekspresi dan tulisan. Sementara itu, sifat dokumentasi bahasa yang kekal mengandung perspektif jangka panjang yang sanggup menjangkau problem dan gosip kebahasan di masa yang akan datang. Jadi, tujuan pendokumentasian bahasa bukanlah pembuatan rekaman yang sifatnya jangka pendek untuk tujuan-tujuan khusus ataupun untuk kelompok-kelompok tertentu. Oleh lantaran itu, dokumentasi bahasa yang ideal yakni rekaman yang sanggup digunakan untuk generasi selanjutnya dan masyarakat penutur yaang identitasnya masih belum diketahui dan yang ingin juga mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan yang belum muncul pada dikala pendokumentasian dilakukan. Bentuk dokumentasi bahasa yang dimaksud yakni berupa korpus data primer yang komprehensif.

Pendokumentasian bahasa termasuk dalam cabang linguistik dokumenter (documentary linguistics). Dalam pandangan tradisional (linguistik struktural), pendokumentasian bahasa intinya yakni menyusun tata bahasa, kamus, dan sejumlah teks (Woodbury, 2008: 5; Himmelmann, 2006: 17—19). Hubungan di antara unsur-unsur itu bersifat hierarkis. Posisi teratas yakni tata bahasa, kemudian kamus, dan terbawah yakni teks. Tata bahasa merupakan seperangkat hukum untuk memproduksi ujaran. Kamus merupakan senarai pasangan bentuk dan makana konvensional yang digunakan untuk menghasilkan ujaran. Adapun teks, baik dalam bentuk kumpulan teks maupun apendiks tata bahasa, berfungsi memperluas pola wacana bagaimana sistem tersebut bekerja dalam konteks. Teks-teks tersebut biasanya diambil dari korpus data primer yang digunakan sebagai dasar pendeskripsian sistem. Akan tetapi, bahwasanya teks tersebut tidak menyediakan saluran pada data primer lantaran teks-teks itu telah disunting sedemikian rupa. Selama berabad-abad banyak tata bahasa dari banyak sekali bahasa dan juga kamus yang telah dihasilkan. Namun, semuannya belum sanggup memenuhi tujuan pendokumentasian bahasa, yaitu menyediakan rekaman bahasa yang bersifat multiguna dan kekal.

Pendokumentasian bahasa dimulai dengan pengembangan proyek untuk bekerja sama dengan masyarakat tutur pada suatu bahasa. Perkembangannya bisa dilihat dari serangkaian tahapan yang meliputi pengumpulan data, pemrosesan data, dan penyimpanan data. Secara terperinci, Austin (2006: 89—110) mengidentifikasi proses pendokumentasian dalam lima tahapan: perekaman (recording), pendigitalan (capturing), analisis (analysis), pengarsipan (archiving), dan mobilisasi (mobilization). Perekaman berkaitan dengan penggunaan media (audio, video, atau gambar) dan teks. Pendigitalan berkaitan dengan pengubahan materi rekaman dalam bentuk digital. Analisis berkaitan dengan pentranskripsian, penerjemahan, pembuatan anotasi, dan notasi metadata. Pengarsipan berkenaan dengan pembuatan arsip serta hak saluran dan penggunaan. Adapun mobilisasi berkaitan dengan pempublikasian dan pendistribusian materi dalam banyak sekali bentuk.

 Pendokumentasian Bahasa Terancam Punah di Indonesia

Upaya pendokumentasian bahasa terancam punah di Indonesia mulai gencar dilakukan pada tahun 2000-an. Upaya tersebut umumnya dilakukan oleh yayasan, institusi, atau perguruan tinggi tinggi, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, yang sungguh-sungguh mempunyai perhatian besar terhadap problem kebahasaan. Hans Rausing Endangered Languages Project yang dibiayai oleh Arcadia dan DoBeS (Dokumentation Bedrohter Sprachen) Proyek yang disponsori oleh Volkswagen Foundation yakni beberapa pola prakarsa pendokumentasian bahasa hampir punah di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Pemerintah Indonesia melalui institusinya, Badan Bahasa, telah mengawali pendokumentasian bahasa yang terancam punah ketika menginventarisasi bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Hingga kini, acara inventarisasi itu masih berlangsung. Melalui acara itu, diketahui bahasa-bahasa yang memerlukan prioritas pendokumentasian bahasa mengingat jumlah penuturnya yang semakin berkurang.

Kegiatan pendokumentasian bahasa bukanlah yang gampang untuk dilakukan. Ada begitu banyak tantangan di dalamnya. Untuk sanggup bertemu dengan penutur orisinil bahasa tertentu, pendokumentasi harus bekerja ekstra keras dan kadang harus mempertaruhkan nyawa. Secara geografis, penutur bahasa-bahasa yang terancam punah susah untuk dicapai. Biasanya terletak di pedalaman, di pegunungan, atau di pulau terpencil. Perlu waktu cukup panjang untuk hingga ke sana. Tentu saja itu menghabiskan dana yang tidak sedikit lantaran transportasi sangat mahal. Setelah hingga di lokasi, pendokumentasi harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakat. Jika tidak, mereka bisa jadi dianggap “pencuri” oleh penduduk orisinil lantaran dikira akan mencuri bahasa mereka.

Pengumpulan data untuk pendokumentasian bahasa juga memerlukan waktu yang tidak singkat. Idealnya semakin usang pengumpulan data, semakin banyak informasi yang sanggup digali. Jika data yang terkumpul memadai, pengkaji bahasa akan sangat terbantu ketika menganalisis data. Hal itu tentu akan berimbas pada kualitas dokumentasi.

Bentuk dokumentasi bahasa kawasan yang terancam punah yang dihasilkan oleh Badan Bahasa pada umumnya gres sebatas kamus. Kalaupun ada rekaman suara, kualitasnya mungkin tidak seideal yang diharapkan dan belum beranotasi. Dokumentasi berupa tata bahasa belum dilakukan. Tata bahasa yang sudah dihasilkan didominasi oleh bahasa-bahasa dengan penutur yang lebih dari satu juta. Arka (2013: 89) mencatat dari tahun 1975 hingga 2007, dari total 335 publikasi tata bahasa, bahasa Jawa (51) menempati jumlah yang tertinggi, diikuti berturut-turut oleh bahasa Sunda (24), bahasa Bali (14), bahas Lampung (9), dan bahasa Aceh (7). Dokumentasi berupa kamus saja bahwasanya belumlah cukup.

Dokumentasi berupa korpus (Kumpulan ujaran yang tertulis atau ekspresi yang digunakan untuk menyokong atau menguji hipotesis wacana struktur bahasa) bahasa-bahasa yang terancam punah semestinya menjadi prioritas utama. Korpus merupakan data primer. Tidak ibarat kamus atau tata bahasa yang datanya biasanya sudah mengalami penyuntingan. Korpus sanggup menjadi alat dalam menyusun kamus dan sanggup menjadi alat analisis dalam menyusun tata bahasa.

Pendokumentasian bahasa bahwasanya langkah awal dalam upaya merevitalisasi bahasa-bahasa yang terancam punah. Keberhasilan untuk merevitalisasi tetap bergantung pada masyarakat penutur itu sendiri. Namun, pemerintah sentra dan daerah, sebagai penentu kebijakan bahasa, juga bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan bahasa-bahasa daerah yang ada di wilayahnya.




Daftar Pustaka

Arka, I Wayan. 2013. Language Management and Minority Language Maintenance. Dalam Language Documentation & Conservation vol. 7

Austin, Peter K. 2006. Data and Language Documentation. Dalam Jost Gippert, Nikolaus P. Himmelmann, dan Ulrike Mosel, eds,  Essentials of Language Documentation. Berlin: Walter de Gruyter.

Brenzinger,  Matthias. 2007. Language diversity endangered. Berlin: Walter de Gruyter.

Lewis, M. Paul, Gary F. Simons, dan Charles D. Fennig (eds.). 2015. Ethnologue: Language of the World, Eighteenth edition. Dallas, Texas: SIL International. Diakses dari versi daring: http://www.ethnologue.com pada 19 Agustus 2015.

Himmelmann, Nikolaus P. 2006. Language Documentation: What is it and what is it good for?. Dalam Jost Gippert, Nikolaus P. Himmelmann, dan Ulrike Mosel, eds,  Essentials of Language Documentation. Berlin: Walter de Gruyter.

Hinton, Leanne. 2011. Revitalization of Endangered Language. Dalam Peter K. Austin dan Julia Sallabank, eds, The Cambridge Handbook of Endangered Languages. Cambridge: Cambridge University Press

http://www.ethnologue.com/endangered-languages. Diakses pada 1 Juli 2015.

http://dobes.mpi.nl/projects/?lang=id. Diakses pada 2 Juli 2015.

Moseley, Christopher (ed.). 2010. Atlas of the World’s Languages in Danger, 3rd edn. Paris, UNESCO Publishing. Diakses dari versi daring: http://www.unesco.org/culture/en/endangeredlanguages/atlas pada 1 Juli 2015.

Unesco Ad Hoc Expert Group on Endangered Languages (2003). Language Vitality and Endangerment. http://www.unesco.org/new/fileadmin
/MULTIMEDIA/HQ/CLT/pdf/Language_vitality_and_endangerment_EN.pdf.

Woodbury, Tony. 2008. Defining Documentary Linguistics. Diakses dari http://hrelp.org/events/workshops/eldp2008_6/resources/woodbury.pdf pada 29 Juni 2015.

*Sumber: http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/

0 Response to "Dokumentasi Dan Revitalisasi Bahasa Kawasan Terancam Punah Di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel